Fraksi Demokrat DPR Tolak PPN 12 Persen Jika Menyasar Bahan Pokok

Kaltim, PaFI Indonesia — Fraksi Partai Demokrat di Komisi XI DPR memberikan sejumlah catatan terhadap rencana pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Marwan Cik Hasan menuturkan bahwa pihaknya mendukung kebijakan itu selama berpihak kepada masyarakat.

Dia mengingatkan agar kenaikan PPN menjadi 12 persen harus dikecualikan terhadap barang kebutuhan pokok masyarakat seperti sembako, jasa pendidikan, jasa kesehatan medis, serta jasa pelayanan sosial.

“Kami menolak bila pengenaan PPN itu menyasar barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat,” kata Marwan dalam keterangannya, Senin (23/10).

Dia menjelaskan kenaikan PPN 12 persen merupakan amanat UU Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang sudah disepakati lewat Paripurna DPR RI pada 7 Oktober 2021.

Sekretaris Fraksi Partai Demokrat di DPR itu memahami bahwa kenaikan PPN 12 persen merupakan upaya pemerintah untuk memperbaiki keuangan serta menambah pendapatan negara. Namun, Marwan meminta pemerintah konsisten menerapkan kebijakan itu hanya menyasar barang-barang mewah, bukan menengah ke bawah.

“Pastikan saja menaikkan PPN ini hanya untuk barang-barang mewah dan pengusaha besar saja sehingga tidak berdampak kepada pengusaha atau barang-barang menengah ke bawah,” katanya.

PKB hingga Golkar sindir PDIP

Sementara, Fraksi PKB mengkritik sikap PDIP yang kini dianggap berbalik badan dengan menolak penerapan kenaikan PPN 12 persen. Wakil Ketua Umum PKB, Faisol Riza mempersilakan PDIP untuk menggugat UU HPP di Mahkamah Konstisusi (MK).

“PDIP kan ikut menyetujui saat pengesahan, silakan teman-teman PDIP berargumentasi kembali dalam sidang JR di MK kenapa dulu menyetujui lalu sekarang menolak,” kata Faisol.

Faisol mengatakan bahwa pihaknya akan memberi kesempatan kepada pemerintah menjalankan undang-undang tersebut demi menjaga kebijakan fiskal nasional.

Dia menilai pajak adalah bentuk nyata eksistensi sebuah negara dan bangsa. Ia dibuat untuk digunakan bagi kepentingan bersama. Semakin maju negara, biasanya rasio pajak akan semakin besar. Negara yang besar membutuhkan pajak besar untuk membiayai pembangunan.

“Berilah kesempatan pemerintah untuk menjalankannya. Toh, kalau pajak kembalinya juga tetap kepada rakyat melalui belanja pemerintah seperti bansos atau subsidi listrik, elpiji dan BBM. Masa PDIP sekarang lebih setuju pencabutan subsidi untuk rakyat?” jelas Riza.

Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Golkar, Muhammad Misbakhun mengingatkan PDIP agar tak melakukan langkah politik cuci tangan terhadap kenaikan PPN 12 persen.

Menurut Misbakhun, jika saat ini justru berbalik badan, PDIP dinilai hanya lari dari tanggung jawab. Sebab, kata dia, PDIP terlibat dalam penyusunan UU HPP hingga disahkan pada 2021.

“Kalau saat ini ada upaya politik balik arah dari PDIP dengan melakukan upaya penolakan itu berarti mereka mau ‘tinggal glanggang colong playu.’

Mereka terlibat dalam proses politik pembuatan UU itu sebagai ketua Panja RUU Kententuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP),” kata Misbakhun.

Misbakhun menegaskan bahwa Fraksi Partainya mendukung implementasi pengesahan UU itu. Menurut dia, kebijakan Presiden Prabowo Subianto dengan mengecualikan item tertentu sebagai bentuk moderasi politik dengan tidak mengabaikan perintah UU.

“Sikap politik Partai Golkar sangat jelas, setelah UU HPP disetujui maka setiap UU

harus dijalankan dalam rangka tertib bernegara dan berkonstitusi,” katanya.

Ketua DPP PDIP Deddy Yevry Sitorus membantah kenaikan PPN 12 persen diinisiasi PDIP. Menurutnya, hal itu diusulkan oleh Presiden Jokowi.

Dia mengakui memang kader PDIP menjadi ketua panja undang-undang yang mengatur kenaikan PPN 12 persen. Namun, menurut Deddy UU HPP merupakan keputusan DPR sebagai lembaga, bukan perorangan.

Dia menjelaskan saat itu PDIP setuju kenaikan PPN 12 persen karena kondisi perekonomian sedang baik-baik saja. Namun saat ini, kenaikan PPN 12 persen perlu dipertimbangkan ulang karena ekonomi memburuk.

“Angkanya sekitar 9,3 juta kelas menengah itu sudah tergerus. Lalu kita melihat dolar naik gila-gilaan,” ungkap Deddy.

“Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, enggak. Karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” imbuhnya.